Debat Politik: Sensasi Mengalahkan Substansi
Debat politik, yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan dan visi, kini seringkali terasa lebih seperti panggung drama daripada forum substansi. Fenomena ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari beberapa faktor yang saling terkait.
Pertama, pengaruh media dan tuntutan hiburan. Media massa, terutama televisi dan platform digital, cenderung memprioritaskan "momen viral" atau "soundbite" yang menarik perhatian. Hal ini mendorong politisi untuk tampil sensasional, melontarkan serangan pribadi, atau membuat pernyataan provokatif yang mudah menjadi berita, daripada menjelaskan detail kebijakan yang kompleks.
Kedua, strategi kampanye modern. Tim kampanye seringkali menginstruksikan kandidat untuk menghindari jawaban langsung, menyerang lawan, atau mengulang-ulang slogan yang mudah diingat. Tujuannya bukan untuk mendidik pemilih, melainkan untuk membangkitkan emosi, mengamankan basis dukungan, dan melemahkan lawan. Detail kebijakan dianggap "membosankan" dan berisiko menimbulkan celah.
Ketiga, peran media sosial. Platform seperti Twitter, Facebook, dan TikTok mempercepat penyebaran drama dan kontroversi. Potongan video pendek atau kutipan pernyataan yang memicu kemarahan lebih cepat menyebar daripada analisis mendalam. Ini menciptakan siklus di mana politisi merasa perlu terus menciptakan "konten" yang menarik perhatian agar tidak tenggelam.
Akibatnya, pemilih seringkali disuguhkan tontonan yang menghibur namun minim informasi substantif. Diskusi tentang solusi nyata atas masalah negara terpinggirkan oleh adu retorika, ejekan, dan pertunjukan emosional. Pada akhirnya, ini merugikan demokrasi karena masyarakat kesulitan membuat keputusan berdasarkan informasi yang akurat dan mendalam, dan lebih mudah terpengaruh oleh narasi yang dangkal.