Di Balik Gemuruh Janji: Mengapa Politik Sering Abai pada Kaum Marginal?
Dalam hiruk pikuk arena politik, janji manis sering bertebaran. Namun, di balik gemuruh kampanye dan debat kebijakan, ada kelompok-kelompok yang suaranya nyaris tak terdengar: kaum marginal. Mengapa politik, yang seharusnya mewakili seluruh rakyat, justru sering abai pada mereka yang paling membutuhkan?
Salah satu alasan utama adalah minimnya ‘kapital politik’ kaum marginal. Mereka seringkali tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk mendanai kampanye, lobi yang kuat, atau bahkan jumlah pemilih yang signifikan untuk menjadi penentu kemenangan. Akibatnya, partai politik dan calon cenderung fokus pada konstituen yang lebih ‘menguntungkan’ secara elektoral.
Kedua, fokus politik yang cenderung jangka pendek dan elektoral. Masalah kaum marginal seperti kemiskinan struktural, diskriminasi sistemik, atau akses kesehatan yang buruk, memerlukan solusi jangka panjang, kompleks, dan seringkali tidak populer. Politisi sering lebih memilih kebijakan ‘populis’ yang cepat terlihat hasilnya menjelang pemilihan umum, daripada investasi pada kelompok yang membutuhkan perhatian mendalam.
Ketiga, kompleksitas masalah dan kurangnya visibilitas. Isu-isu yang dihadapi kaum marginal seringkali rumit, saling terkait, dan tidak mudah dikemas menjadi narasi politik yang menarik perhatian media massa atau publik luas. Mereka ‘tidak terlihat’ dalam arus utama perdebatan, sehingga mudah terlewatkan dalam agenda kebijakan, diperparah oleh stigma sosial yang mungkin melekat.
Pada akhirnya, pengabaian ini bukan hanya kegagalan politik, melainkan juga kegagalan moral. Politik yang sehat seharusnya mampu menjangkau setiap lapisan masyarakat, memastikan setiap suara didengar, dan setiap hak terpenuhi. Mengabaikan kaum marginal berarti mengkhianati esensi demokrasi itu sendiri.