Seni Berpolitik: Cermin Realitas atau Corong Ideologi?
Politik tak hanya bersemayam di gedung parlemen atau mimbar orasi; ia meresap jauh ke dalam kanvas film dan lembaran sastra, membentuk narasi yang memukau. Pertanyaannya, apakah karya-karya ini sekadar merefleksikan kondisi sosial dan dinamika kekuasaan, atau justru menjadi alat ampuh untuk menyebarkan propaganda?
Sebagai refleksi, film dan sastra berfungsi layaknya cermin bagi masyarakat. Mereka merekam ketidakadilan, perjuangan identitas, dilema moral, dan intrik kekuasaan dengan segala kompleksitasnya. Karya semacam ini tidak mendikte, melainkan memprovokasi pemikiran, memicu empati, dan mendorong audiens untuk mengkritisi status quo. Mereka menyajikan beragam sudut pandang, menunjukkan nuansa abu-abu dalam isu-isu pelik, dan merayakan keberagaman pengalaman manusia. Tujuannya adalah pencerahan dan pemahaman yang lebih dalam, bukan pengarahan.
Namun, tak jarang seni juga dimanfaatkan sebagai corong propaganda. Dalam bentuk ini, ia cenderung menyederhanakan isu-isu kompleks, mengagungkan satu ideologi atau memojokkan yang lain, serta memanipulasi emosi untuk membentuk opini publik. Narasi yang disajikan seringkali tunggal, hitam-putih, dan dirancang untuk menggiring pandangan, membenarkan tindakan politik tertentu, atau menggerakkan massa ke arah yang diinginkan oleh pihak tertentu. Karakteristik utamanya adalah persuasi yang kuat, seringkali mengorbankan objektivitas dan ruang untuk kritik.
Garis antara refleksi dan propaganda seringkali tipis dan buram. Sebuah karya bisa dimulai dengan niat reflektif, namun interpretasi atau penggunaannya di kemudian hari bisa beralih menjadi alat propaganda. Sebaliknya, propaganda yang cerdas bisa menyamarkan diri dalam balutan refleksi mendalam, membuatnya sulit dikenali.
Pada akhirnya, apakah politik dalam film dan sastra itu cermin atau corong, sangat bergantung pada niat pencipta dan cara audiens menyikapinya. Kekuatan luar biasa keduanya untuk membentuk pemikiran menuntut kita untuk selalu membaca, menonton, dan menganalisis dengan kritis. Hanya dengan demikian kita dapat membedakan antara seni yang mencerahkan dan seni yang sekadar mengarahkan.












