Anatomi Kesenjangan: Saat Kebijakan Hanya Memihak Elit
Politik ekonomi adalah arena di mana kekuasaan dan sumber daya saling berinteraksi membentuk arah suatu negara. Idealnya, kebijakan yang lahir dari interaksi ini bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan dan pertumbuhan inklusif. Namun, kenyataan seringkali pahit: banyak kebijakan justru memperlebar jurang kesenjangan, di mana manfaatnya hanya berputar di lingkaran segelintir elit.
Fenomena ini bermula dari proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Seringkali, regulasi, perizinan, atau bahkan insentif fiskal dirancang sedemikian rupa sehingga hanya korporasi besar atau kelompok tertentu yang memiliki akses, modal, dan pengaruh politik yang mampu memenuhinya atau meraup keuntungannya. Subsidi yang seharusnya membantu sektor rentan, misalnya, bisa saja lebih banyak mengalir ke perusahaan raksasa yang sudah mapan karena lobi-lobi intens mereka.
Pengaruh elit juga terlihat dalam penetapan prioritas pembangunan dan alokasi anggaran. Proyek-proyek infrastruktur besar yang dikerjakan oleh kroni, keringanan pajak untuk industri tertentu yang dimiliki oleh kelompok berpengaruh, atau deregulasi yang menguntungkan monopoli adalah contoh nyata bagaimana kepentingan pribadi atau kelompok dapat menyusup ke dalam bingkai kebijakan publik.
Dampak dari politik ekonomi yang berpihak pada elit sangat merugikan: menghambat mobilitas sosial, mematikan inovasi dari pelaku usaha kecil, memicu ketidakpuasan publik, dan mengancam stabilitas sosial jangka panjang. Kesenjangan kekayaan dan pendapatan yang kian melebar bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga erosi keadilan dan demokrasi.
Untuk membangun masyarakat yang adil dan berkelanjutan, dibutuhkan kebijakan yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan hanya segelintir. Peran pengawasan publik dan akuntabilitas pemerintah menjadi krusial untuk memastikan bahwa setiap kebijakan benar-benar melayani kepentingan rakyat, bukan melanggengkan kekuasaan dan kekayaan elit semata.