Politik Pencitraan di Era Influencer dan Viralitas

Pencitraan 2.0: Politik di Era Jempol dan Algoritma

Di tengah hiruk pikuk media sosial, politik pencitraan telah berevolusi dari sekadar kampanye di media massa menjadi pertunjukan personal yang digerakkan oleh influencer dan potensi viralitas. Politik tak lagi hanya panggung pidato formal, melainkan juga feed Instagram, TikTok, dan cuitan X yang membanjiri lini masa kita.

Mengapa Influencer Menjadi Kunci?

Influencer kini bukan sekadar bintang iklan, melainkan figur yang dianggap memiliki kredibilitas dan kedekatan dengan audiens spesifik. Politisi melihat ini sebagai jalan pintas untuk menembus skeptisisme publik terhadap media tradisional dan menjangkau segmen pemilih muda yang melek digital. Melalui mereka, pesan politik dapat disisipkan secara halus, terkesan otentik, dan mudah dicerna, mulai dari endorsement terselubung hingga pembuatan konten kolaboratif yang "relatable."

Daya Ledak Viralitas

Aspek viralitas menjadi senjata ampuh. Sebuah video pendek, meme, atau narasi yang dirancang cerdas dapat menyebar dalam hitungan jam, menciptakan gelombang percakapan publik, dan bahkan membentuk opini. Tujuannya jelas: membangun citra positif, menangkis isu negatif, atau mempersonalisasi politisi agar tampak lebih manusiawi dan dekat dengan rakyat. Algoritma media sosial memegang peranan krusial, menentukan pesan mana yang akan "meledak" dan menjangkau jutaan pasang mata.

Pedang Bermata Dua: Antara Citra dan Substansi

Namun, praktik ini adalah pedang bermata dua. Kecenderungan untuk berfokus pada "likes," "shares," dan "engagement" seringkali mengorbankan kedalaman substansi. Kebijakan penting bisa terpinggirkan oleh gimik politik atau narasi yang dangkal. Risiko manipulasi persepsi juga sangat tinggi; citra yang dibangun bisa jadi jauh dari kenyataan, menciptakan jurang antara ekspektasi publik dan kinerja sebenarnya. Ketika viralitas lebih diprioritaskan daripada integritas, krisis kepercayaan adalah konsekuensi yang tak terhindarkan.

Masyarakat yang Kritis Adalah Kunci

Pada akhirnya, politik pencitraan di era influencer dan viralitas menuntut kecerdasan dari masyarakat. Kita dituntut untuk tidak hanya terbuai oleh kemasan yang menarik, tetapi juga menggali substansi di baliknya. Memilah antara "likes" dan integritas, antara popularitas sesaat dan rekam jejak yang nyata, adalah kunci untuk memastikan demokrasi tetap berlandaskan pada akal sehat, bukan sekadar algoritma.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *