Genggaman Algoritma: Politik atau Publik, Siapa Pengendali Sejati?
Media sosial telah mengubah lanskap politik secara fundamental, bukan lagi sekadar alat tambahan, melainkan arena utama pertarungan gagasan dan kekuasaan. Namun, di tengah hiruk-pikuk interaksi digital ini, muncul pertanyaan krusial: siapa sesungguhnya yang mengendalikan siapa? Apakah politisi yang berhasil menjinakkan platform, ataukah platform itu sendiri yang membentuk arah politik?
Politik Mengendalikan Media Sosial (Upaya Penjinakan)
Para politisi dan partai memanfaatkan platform digital sebagai megafon raksasa. Mereka menggunakan media sosial untuk kampanye, menyampaikan pesan langsung tanpa filter media tradisional, membangun citra, dan memobilisasi massa pendukung. Tujuannya jelas: menciptakan narasi yang menguntungkan, membentuk opini publik, dan menjangkau pemilih secara personal. Dengan strategi konten yang tepat dan penggunaan data analitik, politisi berupaya "menjinakkan" algoritma agar pesan mereka memiliki jangkauan maksimal.
Media Sosial Mengendalikan Politik (Kekuatan yang Tak Terduga)
Di sisi lain, media sosial memiliki kekuatan independen yang mampu membentuk arah politik. Algoritma yang menentukan apa yang dilihat pengguna seringkali menciptakan "echo chamber" atau gelembung filter yang memperkuat pandangan yang sudah ada, berpotensi meningkatkan polarisasi. Kecepatan penyebaran informasi (dan disinformasi) membuat isu bisa viral dalam hitungan menit, memicu gerakan sosial, protes, atau bahkan menjatuhkan reputasi politisi. Opini publik bisa terbentuk atau terdistorsi dengan sangat cepat, seringkali di luar kendali pihak mana pun.
Simbiosis Kompleks dan Genggaman Algoritma
Kenyataannya, hubungan ini lebih kompleks daripada sekadar dominasi satu pihak. Ini adalah tarian interaktif di mana politisi berupaya memengaruhi platform, sementara platform dengan dinamikanya sendiri memengaruhi arena politik. Publik pun tak hanya pasif; mereka adalah produsen konten, penyebar pesan, sekaligus target.
Namun, "pemain tak terlihat" yang seringkali menjadi penentu arah diskusi adalah algoritma. Algoritma, yang dirancang untuk memaksimalkan engagement, secara tidak langsung mengendalikan informasi apa yang sampai ke mata dan pikiran publik. Ia bisa mempercepat tren, menyembunyikan kritik, atau bahkan mempromosikan narasi tertentu, terlepas dari niat awal penggunanya.
Jadi, siapa yang mengendalikan siapa? Jawabannya tidak tunggal. Hubungan politik dan media sosial adalah simbiosis kompleks yang terus berevolusi. Politik mencoba mengendalikan media sosial, media sosial memengaruhi politik, dan di tengah-tengah itu, algoritma memegang genggaman tak terlihat yang membentuk realitas digital kita. Memahami dinamika ini memerlukan literasi digital yang tinggi dari setiap individu agar tidak menjadi objek kendali, melainkan subjek yang kritis dalam ekosistem digital politik.












